Di Beranda
2/23/2014 11:51:00 PM--
Enam belas bulan sudah ternyata aku berada di Jakarta. Jauh dan secara fisik memang benar-benar jauh dari keluarga: ibu, ayah, kakak dan adik.
Klaten - Jakarta memang sebenarnya tidak benar-benar jauh. Hanya delapan jam perjalanan menggunakan kereta api. Akan tetapi, semakin ke sini bukan masalah berapa lama perjalanan, namun kapan waktu yang tepat untuk benar-benar pulang di rumah.
Oh, Ibu tenang sudah
lekas seka air matamu
sembapmu malu dilihat tetangga
Ibu adalah satu-satunya yang benar-benar mendukung aku untuk melanjutkan studi di sini. Berusaha mengikhlaskan bahwa jalan anaknya bukan di kota sebelah. Berusaha tetap bangga kepada anaknya meskipun pada kenyataannya anaknya tidak mengenyam pendidikan di kampus ternama.
Aku memang tidak pernah melihat Ibu menangis di depanku, disaat aku berpamitan di stasiun atau sehabis ibu mengunjungiku di Jakarta. Aku tahu bahwa Ibu adalah wanita paling kuat di dunia ini. Percaya kepada anak perempuan yang manja dan ceroboh untuk hidup mandiri di tempat orang. Meski rasa khawatir dan sayang teramat sangat terpancar di wajah indahnya.
Ibu memang tidak pernah secara eksplisit mengatakan rindu di telepon kepadaku. Akan tetapi, aku yakin bahwa Ibu berusaha sekuat mungkin menjaga rindunya agar tidak mengganggu pikir anaknya.
Oh, ayah mengertilah
Rindu ini tak terbelenggu
Laraku setiap teringat peluknya
Kerap kali ucapan rindu selalu eksplisit Bapak katakan di setiap telepon. Tak lupa suara yang bergetar menahan luapan rindu yang mungkin terselingi air mata, namun selalu berusaha tidak Engkau keluarkan.
Memutuskan untuk melepaskan anak perempuanmu satu-satunya, aku yakin bukan perkara yang mudah. Ibarat sebuah berlian yang dilempar ke pasaran, akan semakin banyak yang menyukai dan tidak luput juga ancaman juga silih-ganti berdatangan. Dan berlian ini adalah milikmu, Bapak.
Kini kamarnya teratur rapi
Ribut suaranya tak ada lagi
Tak usah kau cari dia tiap pagi
Kamar di pojokan lantai dua rumah kita sekarang kosong tak pernah diisi. Deretan boneka yang dulu diletakkan begitu saja, sekarang terpaksa dibungkus dengan plastik. Album-album foto yang terpajang juga didiamkan, tidak ada yang melihat setiap paginya. Kumpulan buku-buku pemilik kamar sekarang berperan sebagai pemenuh lemari kaca. Baju-baju yang biasanya tergantung, sudah terlipat rapi di almari.
Ribut suara seorang anak perempuan yang nyaring dan keras kepala memang sudah tidak terdengar kembali. Tapi ketahuilah Ibu, ketahuilah Bapak, rumah kita tidak akan pernah sepi. Tidak akan pernah sepi karena akan selalu ada kenangan yang meramaikan.
Dan jika suatu saat
Buah hatiku, buah hatimu
Untuk sementara waktu pergi
Usahlah kau pertanyakan ke mana kakinya kan melangkah
Kita berdua tahu, dia pasti
Pulang ke rumah
Senyamannya apapun suatu tempat, tidak ada yang lebih nyaman selain di rumah.Semenyenangkan apapun orang-orang baru yang ditemui, tidak akan lebih semenyenangkan anggota keluarga kita.
Boleh saja kakiku sekarang melangkah kemana-mana. Boleh saja kakiku tersita untuk menjelajah berbagai ranah. Kemana pun, seberapa lama pun, sejauh apapun, kaki ini, anak perempuan ini, akan selalu merindukan satu hal ini: pulang ke rumah.
Rumah adalah tujuan di mana pejalan akan merindu. Dan rumah adalah tujuan di mana pejalan akan melangkah pulang.
4 comments
keren lho itu pantun/puisi mu ian.
BalasHapusaku coba bikin tapi ga bisa.. hehe
Wahaaaa,, maturnuwun mas :D
HapusKalau kerennya desainmu sih aku juga belum bisa sekeren kamu mas :D
"Oh, Ibu tenang sudah
Hapuslekas seka air matamu
sembapmu malu dilihat tetangga"
"Oh, ayah mengertilah
Rindu ini tak terbelenggu
Laraku setiap teringat peluknya"
Penggalan lirik lagu Bandaneira-nya memperkaya isi tulisan, juga menjaga ide-ide pikiran dari tiap paragraf jadi padu & terarah. Nice trick, dik Brilli.. :)
Keren dan sedih
BalasHapus