Sebuah Kisah di Pagi

2/11/2015 07:24:00 PM

Setiap hari dimulai dari setiap pagi. Termasuk pagi ini, Senin, 9 Februari 2015. Termasuk juga ketika langit pagi ini sebenarnya seperti langit ragu yang berwana abu. Hujan mengguyur Jakarta sepanjang malam hingga waktu yang tidak bisa ditentukan, namun terlihat hujan kali ini akan sangat awet.

Hujan baru akan berhenti nanti malam, kata seorang teman melalui info yang ia dapatkan dari radio. Grup – grup dalam whatsapp juga mulai mengabarkan tentang Jakarta pagi ini yang didominasi dengan genangan-berpotensi-banjir,  kemacetan dan lengkap dengan nama jalan-jalannya. Era teknologi, semua informasi bisa ditransfer ke tempat bermil – mil jauhnya hanya dengan diubah menjadi gelombang berkecepatan sangat cepat.

Saya sendiri sebenarnya masih meringkuk di dalam selimut sambil menyelesaikan satu buku yang kemarin masih duduk manis di meja dekat ranjang tidur saya. Sesekali melihat layar ponsel pintar saya, membaca pesan dalam aplikasi chatting bernama Whatsapp dan Line. Meskipun saya mengaku sebagai seorang pluviophile, dalam hati saya berdoa semoga hujan segera reda. Iya, kamar kos saya ternyata bocor. Saya hanya takut kebocoran ini makin bertambah. Selain itu, sebenarnya saya harus ke dokter gigi pagi ini, tapi saya batalkan karena memang hujan masih deras hingga pukul 11.00 saya menuliskan tulisan ini. Mungkin nanti sore, malam atau besok.

Perut saya memberi tanda kalau saya butuh asupan makan. Sebenarnya bisa saja saya minum energen pagi ini, toh masih ada stok. Tetapi karena saya harus minum obat dan obat tidak boleh bercampur susu, saya terpaksa harus berganti pakaian, mengambil payung dan berjalan keluar kos demi sebuah sarapan. Semuanya berjalan normal dengan rok saya yang cukup basah karena cipratan hujan.

Tujuan utama saya sebenarnya adalah minimarket dekat masjid Al – Bakrie. Tetapi saya urungkan dan berganti dengan membeli bubur kacang hijau langganan saya. Saya cukup terkejut karena Beliau masih berjualan padahal hujan cukup deras. Pukul sembilan pagi, dan saya lihat panci bubur kacang hijau masih cukup penuh. Berbeda dengan hari-hari biasa yang tinggal separuh pada pukul yang sama. Beliau juga berkata bahwa cuaca cukup dingin. Ketika saya bertanya, “Kenapa tidak pakai jaket saja, Pak?” Saya berharap Beliau akan menjawab lupa.

Nggak punya jaket. Kalau punya, pasti saya langsung pakai. Kemarin sudah libur jualan, makanya hari ini saya jualan.”

Saya hanya tersenyum dan melihat pakaian Beliau. Kaos berkerah warna hijau dengan celana panjang yang sepertinya resletingnya rusak karena harus memakai peniti.

Sepanjang saya berjalan pulang, saya berpikir tentang bagaimana orang – orang harus bertahan hidup dalam keadaan apapun. Mungkin saya atau Anda yang membaca ini cukup beruntung karena masih bisa berada dalam keadaan yang nyaman, tapi di luar sana masih banyak yang berjuang meskipun hujan mendera dan mungkin badai yang menghadang. Jika pagi tadi saya masih berselimut sambil membaca buku yang bagus, Beliau sudah bangun sejak dini hari, memasak bubur kacang hijau dan menyiapkan segala peralatan di gerobak birunya. Jika pagi tadi saya masih membaca pesan di dalam grup chatting, Ibu penjual nasi uduk atau Mbak Mas Warung Tegal di sepanjang jalan tadi juga telah bangun pagi mengalahkan kemageran luar biasa untuk membantu suami mereka dan demi anak – anak mereka.

Sejujurnya saya bingung untuk bagaimana menutup tulisan pagi saya hari ini. Apakah saya harus menceritakan teman saya yang masih bersyukur karena bisa memakan indomie untuk sarapannya atau teman saya lainnya yang mengeluh karena terjebak dalam kemacetan, atau anak – anak kecil yang saya lihat senang sekali bermain hujan dengan jas hujan warna-warninya, atau dengan kutipan – kutipan yang relevan.

Terlepas dari itu semua, ada pepatah yang saya percaya dan mungkin bisa menutup tulisan ini.
 “Di mana ada kehidupan, masih ada harapan.”
Saya berpegang pada pepatah tersebut, sembari memikirkan akan menekan tombol titik setelah kalimat ini berakhir.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe